Usia 0 sampai 5 tahun merupakan usia emas (golden age) terbentuknya kepribadian dasar individu. Perilaku anak usia dini cenderung lebih mudah dibentuk daripada orang dewasa. Mereka mudah menirukan dan belajar dari seluruh aktifitas orang-orang yang berada didekatnya. Ibarat pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonya”, merupakan pepatah yang pas untuk menggambarkan bahwa kepribadian anak terbentuk dari lingkungan keluarga.
Pasalnya tindakan orang tua dalam lingkungan keluarga baik secara verbal maupun visual menjadi media transmisi pengetahuan (knowledge of transmission) yang cukup berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak-anak. Maka orang tua perlu membuat perencanaan yang matang untuk menyiapkan anak-anaknya menjadi pribadi yang berkeadaban unggul sejak usia dini.
Untuk itu, menumbuhkan budaya literasi sangat penting dilakukan sejak dini. Upaya menumbuhkan budaya literasi anak selain di sekolah juga tidak kalah penting dilakukan melalui lingkungan keluarga, sebab keluarga merupakan benteng utama pendidikan. Komponen keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak menjadi entitas kelompok kecil yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap kemajuan peradaban bangsa.
Ayah sebagai orang tua pada dasarnya memiliki peran yang sangat vital dalam mengarahkan buah hatinya sejak usia dini untuk membentuknya menjadi generasi literat yang berkeadaban unggul. Peran ayah dalam menumbuhkan literasi sejak usia dini menjadi pondasi dasar yang sangat penting dan esensial. Terlebih saat ini gerakan literasi menjadi perhatian serius pemerintah yang diwujudkan dalam pembangunan berkelanjutan melalui berbagai program pendidikan baik di tingkat lokal maupun nasional.
Literasi yang merupakan bagian dari pendidikan adalah hak setiap anak, hal ini tercantum dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 7 ayat 2 yang menyatakan bahwa orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Diketahui bahwa usia emas ada pada masa sebelum memasuki pendidikan dasar. Maka penting orang tua menyiapkan pendidikan prasekolah dengan menumbuhkan budaya literasi dasar, yakni; membaca, menulis dan berhitung (calistung). Walaupun perkembangan literasi dalam era saat ini tidak hanya sekedar calistung, namun mengenalkan literasi terhadap anak usia dini kiranya cukup dengan pendekatan yang sederhana seperti calistung. Dengan begitu ketika anak-anak sudah memasuki usia wajib belajar mereka sudah siap.
Berikut ini, cara-cara kreatif yang bisa dilakukan oleh ayah dalam menumbuhkan literasi usia dini dengan media yang menyenangkan guna mengoptimalkan fungsi fisik, psikis dan sensoris (pengamatan) anak, yakni:
Pertama, ayah mendongeng (story telling) adalah salah satu upaya mengasah keterampilan dalam berbicara sekaligus merangsang kedekatan emosional anak dengan orang tua. Ayah dapat mendongengkan cerita bersumber dari buku-buku anak; cerita folklore misalnya. Waktu mendongeng bisa dilakukan saat anak-anak menjelang tidur ataupun disaat waktu berkumpul bersama keluarga (family time). Penting menjadi perhatian ayah bahwa dalam mendongeng perlu melibatkan gerakan-gerakan anggota tubuh untuk merangsang imajinasi anak.
Pemilihan diksi pun perlu dilakukan ayah agar anak dapat dengan mudah memahami apa yang diucapkan oleh orang tuannya. Pesan moral positif dalam cerita menjadi nilai yang tidak dapat ditawar, ayah harus pandai menempatkan pesan moral dalam setiap dongeng yang diceritakan. M.D. Aminudin seorang novelis peraih penghargaan sastra tahun 2008 mengatakan bahwa dirinya gemar membaca buku karena masa kecilnya sering mendengarkan dongeng dari ayahnya (Prasetyo, 2016:32).
Hal ini menjadi bukti bahwa keterlibatan ayah dalam proses pembinaan perkembangan anak usia dini sangat berpengaruh terhadap masa depan anak terutamanya dalam menumbuhkan minat baca.
Kedua, membuat perpustakaan keluarga. Keluarga merupakan merupakan tempat pendidikan yang paling sempurna karena memenuhi semua kebutuhan dan hak seorang anak. Peran keluarga yang sangat vital tersebut menjadi sumberdaya tak terbatas dalam rangka menggali potensi anak-anak. Selanjutnya keterlibatan ayah dalam mengeksplorasi sumber daya keluarga upayanya dengan menghadirkan perpustakaan keluarga. Ayah dapat mensetting sudut ruangan keluarga menjadi perpustakaan yang menarik dan menyenangkan.
Seluruh aktivitas bermain dan belajar anak ada di perpustakaan, sehingga dapat digunakan secara bebas oleh anak-anak dan teman sebayanya. Seluruh koleksi terdiri dari buku-buku anak, alat tulis dengan model dan warna yang menarik, serta permainan edukatif menjadi pokok bahan belajar anak-anak. Seperti permainan bongkar pasang (puzzle) yang mendukung syaraf motorik anak. Ayah juga harus terlibat secara terbuka dengan ikut bermain puzzle bersama anak sambil memberikan pengajaran. Membaca buku bersama antara anak dan ayah dilakukan di perpustakaan keluarga, sediakan tempat yang nyaman untuk dapat melakukan aktivitas ini secara bersama.
Dalam banyak kasus, stimulan semacam ini memberikan dampak yang luar biasa terhadap kepribadian anak-anak sepanjang hidupnya, termasuk meningkatnya kosakata. Survei yang dilakukan Prasetyo pada tahun 2016 mengungkapkan bahwa orang dewasa yang gemar membaca buku salah satunya dipengaruhi oleh kebiasaan membaca yang dahulu pernah ditanamkan oleh orang tua mereka.
Ketiga, program 1 (satu) jam tanpa TV. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 pernah mengungkapkan hasil survei bahwa anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca hanya 17, 66% sementara yang memiliki minat menonton TV mencapai 91,67%. Ini artinya 9 dari 10 anak-anak di Indonesia lebih menyukai untuk menonton TV dan hanya 1 dari 10 anak di Indonesia yang gemar membaca (Priyantoro, 2018:167). Maka menerapkan program 1 jam tanpa TV merupakan solusi tepat dalam memutus rantai budaya menonton TV.
Jam program ini bisa ditambah berdasarkan kesepakatan keluarga dan menggantinya dengan mengisi kegiatan menulis dan berhitung. Ayah ciptakan momen diskusi untuk mengambil kesepakatan antara ayah, ibu dan anak. Walaupun sebenarnya si anak belum begitu paham dengan apa yang dibicarakan namun melatih ia untuk berdiskusi itu penting guna menumbuhkan rasa percaya diri dan motivasi. Sebab sejatinya, menumbuhkan literasi kepada buah hati butuh keseriusan dan kekompakan antara ayah ibu dan anak. Stimulus dari orang tua menjadi kunci untuk dapat mengarahkan anak menjadi pribadi literet sejak usia dini.
Keempat, wisata literasi yakni berwisata ke perpustakaan kota/daerah yang menyediakan wahana permainan sambil belajar. Taman kota juga bisa menjadi alternatif baik diluar perpustakaan apalagi saat ini banyak tempat wisata berbasis edukasi. Anak dapat beraktifitas secara bebas dan berkomunikasi langsung dengan teman-teman sebayanya. Peran ayah dalam wisata literasi sangat penting untuk membimbing dan memotivasi anak. Meluangkan waktu berlibur bersama keluarga adalah pilihan bijak seorang ayah dalam membangun ikatan fisik dan psikis. Ajak anak berkenalan dengan anak-anak di lingkungan permainannya, ajarkan cara-cara berkomunikasi dan tanamkan sikap peduli terhadap orang lain dengan saling berbagi mainan misalnya. Dengan begitu selain minat baca anak tumbuh dengan baik mereka juga memiliki kecakapan sosial yang tinggi.
Penulis: Amri hariri
Sumber: https://paudpedia.kemdikbud.go.id//Peran-Ayah-Tumbuhkan-Budaya-Literasi-Anak-Usia-Dini